Seorang
teman menasehatiku agar aku tidak bermain api. Aku terdiam, berfikir dan
menjawab kata-kata yang keluar dari mulutnya tadi. Tetapi sebelum aku menjawab,
kata-katanya tadi terdengar begitu risih ditelingaku, meski rasanya dekat. Aku
bingung dengan diriku, ketika aku menemukan kata-kata yang ingin aku ucapkan,
saat itu temanku memotong “tapi, yaa enggak apa-apa sih, main apinya sekarang
aja, mumpung masih muda”
Aku
semakin gelisah, tanpa sadar kuucapkan kata demi kata dengan lirih, layaknya
orang bergumam. Hanya bergumam. Beberapa saat setelahnya keningku masih
mengerut, masih terbungkam mulutku untuk berucap. Dan suasana di teras rumah
itupun hening.
“Apa
iya aku sedang bermain api? Menyulut api, bahkan punya korek saja tidak.
Bagaimana aku bisa bermain api? Apalagi disaat hujan seperti sore ini” temanku
kaget mendengar suara kecil yang keluar dari muka yang masih saja tertunduk
“Melewati
jalan menuju rumah yang berpenghuni itu sudah tercipta sebuah tujuan. Meski
jalan itu banyak, meski penghuni rumah itu sedang tidak ada ditempat, dan meski
penghuni rumah itu yang mengajakmu masuk. Kamu sedang melewati episode ketiga,
episode perluasan cabang”
Breeeeeees …. Hujan semakin deras. Mataku berlarian dan gigiku terus mengatup, layaknya kepanikan itu dekat denganku. Perlahan aku tenangkan diri, selagi temanku singgah ke dapur.
“Pakailah
jaketku, dan ini .. minumlah. 10 menit lagi mie rebusnya siap”
Aroma harum kopi susu itu menari-nari di depan hidungku, tapi masih saja aku diam. Tak menyentuh kopi, tidak pula pada jaket. Aku juga tak menaruh harapan pada semangkuk mie rebus yang dijanjikannya.
Perlahan
ku angkat wajah muramku, ku rebahkan senyum kecilku, dan ku beranikan diri
menatap wajah temanku.
“Dingin
ya?” lalu kuambil jaket tebal yang ada di kursi rotan itu. kuambil pula
secangkir kopi yang sama sekali tidak menggodaku.
“Hmm.
Masih panas kopinya” tapi aku masih menggenggamnya, ku letakkan dipangkuanku.
Tanganku masih memeluk cangkir kopi yang ada dipangkuanku, baru saja ingin ku angkat cangkir itu, tiba tiba tarikan lembut terasa ditangan kananku. Pandangan matakupun bergeser ke arahnya “Ke meja makan aja yuk, mie nya udah mateng”
Tanganku masih memeluk cangkir kopi yang ada dipangkuanku, baru saja ingin ku angkat cangkir itu, tiba tiba tarikan lembut terasa ditangan kananku. Pandangan matakupun bergeser ke arahnya “Ke meja makan aja yuk, mie nya udah mateng”
Tak
lama, diangkatlah cangkir kopi dalam pelukan tanganku olehnya. Akupun beranjak
berdiri dan berjalan mengikuti temanku yang telah lebih dulu. Dia membukakan
pintu kursi untukku dan mempersilahkanku duduk manis.
“silahkan
dinikmati tuan puteri, ini special buatanku” suara hangatnya terasa sekali
ditelingaku, rekahan senyumannyapun turut bangga mempersilahkanku, seperti aku
benar-benar seorang wanita dambaanya.
Senyuman
kecilkupun perlahan mengembang “terimakasih chef handal”
“kok
chef sih? Aku kan bukan chef” nadanya sedikit merendah
“Hhhmm??
Ouh, iya maaf, mister koki hebat” sambung ceriaku sembari memberikan senyuman
terbaikku
“Lah.”
Sambil menepuk jidatnya. “ Itu sama saja, tadi aku kan manggil kamu tuan
puteri, berarti aku pangerannya”
Sesaat
setelah kalimat itu berhenti diujungnya. Deringan ponsel temanku tadi mengeras.
Tanda sebuah pesan baru. Dan wajahku
memerah.
“Tunggu
dulu ya, aku buka bbm dulu” pintanya padaku sembari meninggalkan ruang makan.
Aku
tak menjawab, hanya menunduk pelan dan berusaha melarikan pandanganku pada
sekeliling rumah itu. Menghapuskan rona merah pada pipi, menstabilkan debaran
jantung yang sempat mendadak cepat dan mempersiapkan senyuman seadanya.
Begitu
temanku kembali, aku sama sekali tak menyambutnya. Hanya mengutak-atik mangkuk
mie didepanku.
“udah
lapar ya? Mari makan” ajaknya padaku, sambil melepaskan genggaman ponselnya ke
meja makan.
“hmm.
Lumayan. Sekarang boleh makan beneran, Pangeran?” candaku malu malu menyambung
ajakannya
“ehmmm.
Eugh.. i-iya, boleh, ayuk ayuk” jawabnya terbata-bata. Entah aku tak tau
mengapa dia begitu gugup di depanku sekarang. Matanya juga tak lagi teduh
menatapku. Dia melahap mie rebusnya begitu cepat, seperti waktu yang begitu
cepat berjalan. Tak ada yang bersisa dalam mangkuknya.
Aku mencoba menawarinya untuk menyantap mie ku. Tapi temanku tidak mengiyakanku, menurutnya lelaki lebih duluan selesai itu biasa. Dan setelah tawaranku tak diindahkannya tadi, entah ada apa suasana telah kembali nyaman. Satu demi satu perbincangan kamipun mulai meluas.
Aku masih belum menghabiskan mie ku. Aku masih menikmati kehangatan kuahnya. “nikmat! Mie-nya enak, nggak pake bumbu siap saji sesuai seleraku, pangeran”
Aku mencoba menawarinya untuk menyantap mie ku. Tapi temanku tidak mengiyakanku, menurutnya lelaki lebih duluan selesai itu biasa. Dan setelah tawaranku tak diindahkannya tadi, entah ada apa suasana telah kembali nyaman. Satu demi satu perbincangan kamipun mulai meluas.
Aku masih belum menghabiskan mie ku. Aku masih menikmati kehangatan kuahnya. “nikmat! Mie-nya enak, nggak pake bumbu siap saji sesuai seleraku, pangeran”
Melihat
senyumannyapun aku lahap menghabiskan mie rebusku. Setelah ucapakanku selesai,
kemudian perbincanganku semakin hangat dan tatapan matanya tak berpindah dariku
yang sedang menyantap mie rebusnya.
Karena
aku sedikit gugup, sembari mengunyah, aku mengaduk mie rebusku. Tapi, mendadak
aku melihat sesuatu dibalik mangkuk beningku. Semakin cepat aku melahapnya,
semakin jelas ukiran yang ada dimangkuk itu. Aku semakin penasaran. Dan sampailah
aku diakhir sendok. Tempo lahapku mendadak pelan dan tak bernafsu.
“kenapa
gak dihabisin?” tanyanya bingung
“iya,
aku makan kok” lahapanku berakhir dan aku bisa melihat dengan jelas ukiran yang
ada dibawah mangkuk beningku. Sebuah nama tak terlupa : Mira. Nama tunangannya.




