Minggu, 07 April 2013

Entah. Mengapa Api tetap menyala dikala hujan deras?


Seorang teman menasehatiku agar aku tidak bermain api. Aku terdiam, berfikir dan menjawab kata-kata yang keluar dari mulutnya tadi. Tetapi sebelum aku menjawab, kata-katanya tadi terdengar begitu risih ditelingaku, meski rasanya dekat. Aku bingung dengan diriku, ketika aku menemukan kata-kata yang ingin aku ucapkan, saat itu temanku memotong “tapi, yaa enggak apa-apa sih, main apinya sekarang aja, mumpung masih muda”
Aku semakin gelisah, tanpa sadar kuucapkan kata demi kata dengan lirih, layaknya orang bergumam. Hanya bergumam. Beberapa saat setelahnya keningku masih mengerut, masih terbungkam mulutku untuk berucap. Dan suasana di teras rumah itupun hening.
“Apa iya aku sedang bermain api? Menyulut api, bahkan punya korek saja tidak. Bagaimana aku bisa bermain api? Apalagi disaat hujan seperti sore ini” temanku kaget mendengar suara kecil yang keluar dari muka yang masih saja tertunduk
“Melewati jalan menuju rumah yang berpenghuni itu sudah tercipta sebuah tujuan. Meski jalan itu banyak, meski penghuni rumah itu sedang tidak ada ditempat, dan meski penghuni rumah itu yang mengajakmu masuk. Kamu sedang melewati episode ketiga, episode perluasan cabang”

Breeeeeees …. Hujan semakin deras. Mataku berlarian dan gigiku terus  mengatup, layaknya kepanikan itu dekat denganku.  Perlahan aku tenangkan diri, selagi temanku singgah ke dapur.
“Pakailah jaketku, dan ini .. minumlah. 10 menit lagi mie rebusnya siap”

Aroma harum kopi susu itu menari-nari di depan hidungku, tapi masih saja aku diam. Tak menyentuh kopi, tidak pula pada jaket. Aku juga tak menaruh harapan pada semangkuk mie rebus yang dijanjikannya.
Perlahan ku angkat wajah muramku, ku rebahkan senyum kecilku, dan ku beranikan diri menatap wajah temanku.
“Dingin ya?” lalu kuambil jaket tebal yang ada di kursi rotan itu. kuambil pula secangkir kopi yang sama sekali tidak menggodaku.
“Hmm. Masih panas kopinya” tapi aku masih menggenggamnya, ku letakkan dipangkuanku. 
Tanganku masih memeluk cangkir kopi yang ada dipangkuanku, baru saja ingin ku angkat cangkir itu, tiba tiba tarikan lembut terasa ditangan kananku. Pandangan matakupun bergeser ke arahnya “Ke meja makan aja yuk, mie nya udah mateng”
Tak lama, diangkatlah cangkir kopi dalam pelukan tanganku olehnya. Akupun beranjak berdiri dan berjalan mengikuti temanku yang telah lebih dulu. Dia membukakan pintu kursi untukku dan mempersilahkanku duduk manis.
“silahkan dinikmati tuan puteri, ini special buatanku” suara hangatnya terasa sekali ditelingaku, rekahan senyumannyapun turut bangga mempersilahkanku, seperti aku benar-benar seorang wanita dambaanya.
Senyuman kecilkupun perlahan mengembang “terimakasih chef handal”
“kok chef sih? Aku kan bukan chef” nadanya sedikit merendah
“Hhhmm?? Ouh, iya maaf, mister koki hebat” sambung ceriaku sembari memberikan senyuman terbaikku
“Lah.” Sambil menepuk jidatnya. “ Itu sama saja, tadi aku kan manggil kamu tuan puteri, berarti aku pangerannya”
Sesaat setelah kalimat itu berhenti diujungnya. Deringan ponsel temanku tadi mengeras. Tanda sebuah pesan baru.  Dan wajahku memerah.
“Tunggu dulu ya, aku buka bbm dulu” pintanya padaku sembari meninggalkan ruang makan.
Aku tak menjawab, hanya menunduk pelan dan berusaha melarikan pandanganku pada sekeliling rumah itu. Menghapuskan rona merah pada pipi, menstabilkan debaran jantung yang sempat mendadak cepat dan mempersiapkan senyuman seadanya.
Begitu temanku kembali, aku sama sekali tak menyambutnya. Hanya mengutak-atik mangkuk mie didepanku.
“udah lapar ya? Mari makan” ajaknya padaku, sambil melepaskan genggaman ponselnya ke meja makan.
“hmm. Lumayan. Sekarang boleh makan beneran, Pangeran?” candaku malu malu menyambung ajakannya
“ehmmm. Eugh.. i-iya, boleh, ayuk ayuk” jawabnya terbata-bata. Entah aku tak tau mengapa dia begitu gugup di depanku sekarang. Matanya juga tak lagi teduh menatapku. Dia melahap mie rebusnya begitu cepat, seperti waktu yang begitu cepat berjalan. Tak ada yang bersisa dalam mangkuknya. 
Aku mencoba menawarinya untuk menyantap mie ku. Tapi temanku tidak mengiyakanku, menurutnya lelaki lebih duluan selesai itu biasa. Dan setelah tawaranku tak diindahkannya tadi, entah ada apa suasana telah kembali nyaman. Satu demi satu perbincangan kamipun mulai meluas. 
Aku masih belum menghabiskan mie ku. Aku masih menikmati kehangatan kuahnya. “nikmat! Mie-nya enak, nggak pake bumbu siap saji sesuai seleraku, pangeran”
Melihat senyumannyapun aku lahap menghabiskan mie rebusku. Setelah ucapakanku selesai, kemudian perbincanganku semakin hangat dan tatapan matanya tak berpindah dariku yang sedang menyantap mie rebusnya.
Karena aku sedikit gugup, sembari mengunyah, aku mengaduk mie rebusku. Tapi, mendadak aku melihat sesuatu dibalik mangkuk beningku. Semakin cepat aku melahapnya, semakin jelas ukiran yang ada dimangkuk itu. Aku semakin penasaran. Dan sampailah aku diakhir sendok. Tempo lahapku mendadak pelan dan tak bernafsu.
“kenapa gak dihabisin?” tanyanya bingung
“iya, aku makan kok” lahapanku berakhir dan aku bisa melihat dengan jelas ukiran yang ada dibawah mangkuk beningku. Sebuah nama tak terlupa : Mira. Nama tunangannya.

Bahagia Itu Sederhana



Bisa terbang cantik :) 
 Bisa terbang "Yihaa"
Bisa terbang rame - rame di depan Gedung Sate, Bandung


Bisa ngeliat kuartet terbang, meski ada yang tertinggal
Yang terakhir, bisa menggapai bintang di Pacitan

Dan menggapai bintang di depan Gedung Sate, Bandung 

                                              Tunggu gapaian bintangku untukmu ya ...............

Jumat, 05 April 2013

Tuhan, Dia Begitu Indah

Terimakasih Tuhan, makhlukMu di depan mataku begitu indah
Tuhan, sungguh suatu anugrah buatku bisa berkenalan dengan manusiaMu ini
Tuhanku, Subhanallah..
Hanya satu kata ini yang terus kuucapkan untuk menguatkan imanku..
Ya Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang Lagi Maha Mengetahui 
Terimakasih Ya Allah telah Kau pertemukan kami, dia.. Sahabat yang baik :))